
![]() |
Aksi demo GJL meminta tarif BPHTB di Pati diturunkan. Foto : Wisnu. |
Aksi yang dipelopori Gerakan Jalan Lurus (GJL) dengan menggunakan megaphone dan ikat kepala bertuliskan save KPK itu menuntut penurunan tarif Biaya Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 2,5 persen menjadi 1 persen.
Riyanta, Selaku Koordinator GJL dalam aksinya mendesak kepada Pemerintah agar bisa menerapkan aturan hukum BPHTB yang ditetapkan dalam aturan UU Nomor 28 tahun 2009 pasal 87. Pada aturan itu, untuk pengenaan jual beli harus didasarkan pada nilai transaksi, tapi yang terjadi DPKAD menggunakan kewenangannya secara subjektif untuk menentukan nilai yang tidak sesuai dengan nilai transaksi.
Selain itu, lanjutnya, sistem yang dibuat tidak pernah dikontrol, dan pemerintah selalu menganggap bahwa masalah yang dibuat dianggap benar, sedangkan berkas yang diajukan oleh masyarakat banyak yang menumpuk tanpa ada proses tindak lanjut.
"Kita contohkan, ketika ada seorang yang mengalihkan hak tanah, dan yang mengajukan tidak punya uang, maka akan diabaikan, dan itu nanti akan menumpuk, sehingga ini harus dibongkar dan diperbaiki untuk bisa dipermudah agar tidak menjadi problem sosial," terangnya.
Sementara Kepala DPKAD Kabupaten Pati Turi Atmoko menjelaskan, penetapan pajak sebesar 2,5 persen dianggap paling rendah dibandingkan dengan kabupaten lain, bahkan dalam aturan yang ditetapkan pada UU untuk tarif BPHTB maksimal 5 persen.
Turi Atmoko menandaskan, apabila ada permintaan 1 persen, maka harus ada pengkajian yang mendalam, sebab penerapan yang ditetapkan sudah disesuaikan dengan Perda.
"Kalau ingin ada perubahan menjadi 1 persen, maka harus ada revisi UU 28, dan itu harus ada pengkajian yang mendalam melalui DPRD, Gubernur, dan Kementrian, karena ini menyangkut pendapatan daerah," tegasnya.
Lebih lanjut Turi menambahkan, besarnya 2,5 persen sebenarnya tidak ada keluhan, karena sesuai perbandingan untuk Pati dianggap paling kecil dibanding dengan Kabupaten lain. Indikasi di kabupaten pati sudah pro dengan masyarakat kecil, namun apabila aturan yang diterapkan perlu direvisi maka harus disampaikan ke Pemerintah pusat.
"Kewenangan revisi UU 28 itu ada di pemerintah pusat, dan sesuai informasi untuk UU itu akan ada perubahan, yang sementara masih dalam proses penggodokan," akunya.
Meskipun demikian, DPKAD akan berkoordinasi dengan DPRD, hanya saja apabila perlu adanya revisi untuk perubahan menjadi 1 persen maka harus ada pengkajian ulang, dan belum tentu dari kementerian menyetujui.
"Kalaupun harus ada perubahan maka perlu ada pengkajian yang mendalam, karena aturan ini diterapkan di seluruh Indonesia," pungkasnya. (WIS)